Senin, 07 November 2011

Manajemen Risiko Klinik

Setiap upaya medik umumnya mengandung risiko, sebagian diantaranya berisiko ringan atau hampir tidak berarti secara klinik. Namun tidak sedikit pula yang memberi konsekuensi medik yang cukup berat. Tindakan-tindakan yang sifatnya untuk menegakkan diagnosis (misalnya endoscopi dan myelografi) ataupun yang sifatnya invasif, seperti operasi, pemasangan alat bantu dalam tubuh (prostese) tidak jarang menyebabkan kecacatan, baik yang sifatnya sementara maupun yang permanen.(temporary vs permanent disability)

Oleh sebab itu dalam setiap tindakan medik selalu tersedia prosedur standar yang tujuannya adalah untuk meminimalkan risiko yang kemungkinan terjadi. sebagai contoh pemberian antibiotik profilaksis pada bedah cesar antara lain bertujuan untuk meminimalkan terjadinya resiko pasca bedah.

Dalam kenyataan praktek upaya upaya untuk meminimalkan resiko seringkali "terabaikan" baik karena sudah dianggap rutin, atau karena terbatasnya waktu atau sarana yang tersedia. kalaupun dilakukan tidak jarang pelaksanaannya menyimpang dari standar baku yang ada.

Upaya untuk meminimalkan risiko klinik

Secara umum dapat dibagi 2
1. Error reduction, dalam hal ini upaya dilakukan untuk mengurangi dan mencegah   
    terjadinya medical error.
2. Error contaiment, yaitu bila upaya yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan
    kewaspadaan untuk mendeteksi medical-error, dan apabila tidak terhindarkan maka harus
    segera melakukan berbagai tindakan / respon untuk mengatasi error secara adekuat.
     
     Dikutip dari modul kuliah "Manajemen Risiko Klinik"

Konsep Penetapan Tarif dalam Manajemen Rumah sakit

     Tarif adalah nilai suatu jasa pelayanan yang ditetapkan dengan ukuran sejumlah uang berdasarkan pertimbangan bahwa dengan nilai uang tersebut sebuah rumah sakit bersedia memberikan jasa kepada pasien. Tarif rumah sakit merupakan aspek yang sangat diperhatikan oleh rumah sakit swasta juga oleh rumah sakit pemerintah. Bagi sebagian rumah sakit pemerintah, tarif memang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan atau Pemerintah Daerah. Hal ini menunjukkan adanya kontrol ketat pemerintah sebagai pemilik terhadap rumah sakit sebagai firma atau pelaku usaha. Akan tetapi disadari bahwa tarif pemerintah umumnya mempunyai cost- recovery (pemulihan biaya) yang rendah. Apabila tarif mempunyai tingkat pemulihan biaya  rendah diberlakukan pada kelas pelayanan bawah (kelas III) maka hal tersebut merupakan sesuatu yang layak, sehingga terjadi subsidi pemerintah bagi masyarakat miskin untuk menggunakan pelayanan rumah sakit. akan tetapi, apabila tingkat pemulihan biaya ternyata juga rendah untuk kelas VIP misalnya maka dapat terjadi subsidi untuk masyarakat atas. Adanya kebijakan swadana telah memberikan wewenang penetapan tarif pada direktur rumah sakit, khususnya untuk bangsal VIP dan kelas I yang tidak banyak mempengaruhi orang miskin. Oleh karena itu konsep penetapan tarif perlu diketahui oleh manajer rumah sakit.
     Dalam ekonomi mikro, sudah dikenal suatu titik keseimbangan yaitu harga berada pada equilibrium berdasarkan demand dan supply. Pada sistem ekonomi yang berbasis pada keseimbangan pasar, jelas bahwa subsidi pemerintah tidak dilakukan atau terbatas pada masyarakat miskin. akibatnya, tarif dibiarkan sesuai permintaan pasar. Akan tetapi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya ketidakadilan yaitu masyarakat miskin sulit mendapat pelayanan rumah sakit, sehingga subsidi perlu diberikan karena keadaan ini sangat penting pada proses penetapan tarif rumah sakit pemerintah. 
       Dikutip dari buku  "Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah Sakit " karangan  Laksono Trisnantoro